Kamis, 11 Desember 2014

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN TBC



TUBERCULOSIS ( TBC )
1.            KONSEP TEORI
A.    DEFINISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menahun menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara (pernapasan) kedalam paru-paru, kemudian kuman tersebut menyebar dari paru-paru ke organ yang lain melalui peredaran darah, yaitu : kelenjar limfe, saluran pernapasan atau penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Depkes RI, 1998).
Menurut Price ( 2005 ) tuberculosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang penyebarannya melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit.
Menurut  Hanikamioji ( 2009 ) Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
B.     KLASIFIKASI
Menurut Bahar ( 2001 )pada tahun 1974, American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru Tuberculosis yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat yaitu :
1.      Kategori  0 : tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberculin negatif.
2.      Kategori  I : terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat kontak positif, tes tuberculin negatif.
3.      Kategori  II : terinfeksi  tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberrkulit positif, radiologis dan sputum negatif.
4.      Kategori  III : terinfeksi tuberculosis dan terasa sakit.
Menurut Depkes (2006), klasifikasi penyakit TB dan tipe pasien digolongkan:
1)      Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
·         Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
·         Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2)      Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
a.       Tuberkulosis paru BTA positif.
·         Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
·         1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
·         1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
·         1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b.      Tuberkulosis paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
·         Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
·         Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
·         Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
·         Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3)      Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
·         TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
·         TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
·         TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
·          TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
4)      Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
·         Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
·         Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
·         Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
·         Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
·         Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
·         Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
C.    PENYEBAB
Tuberculosis paru disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran 1 - 4/ μm dan tebal 0,3 - 0,6/ μm. Sebagian kuman terdiri atas lemak ( lipid). Lemak inilah yang membuat kuman tahan asam dan lebih tahan terhadap gangguan fisik da kimia, kuman juga mampu hidup dalam udara kering maupun dingin , bahkan bias bertahan hidup bertahun- tahun dalam lemari es. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dan sifat lain dari kuman ini adalah aerob, sehingga kuman ini hidup pada jaringan yang kaya oksigen. Dimana bagian apical paru- paru merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis paru ( Suyono, 2003 ).
D.    MANIFESTASI KNINIS
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1)      Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2)      Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
3)      Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
4)      Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
5)      Gejala sistemik, meliputi:
a.       Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b.      Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
E.     PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.
Tuberkulosis adalh penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat)
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Gohn   respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh.

F.    



PATHWAYS

G.    KOMPLIKASI
Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2005) :
1.      Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2.      Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3.      Bronkiektasis ( pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4.      Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5.      Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6.       insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
H.    PENATALAKSANAAN
·        Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
·        Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1.      OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2.      Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3.      Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1)       Tahap awal (intensif)
·         Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.\
·         Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
·         Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2)      Tahap Lanjutan
·         Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
·         Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
4.     


Laporan Pendahuluan   TBC (Tuberkulosis)

Jenis, sifat dan dosis OAT
5.      Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
·         Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
§  Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
§  Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
·         Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
§  Kategori Anak: 2HRZ/4HR
·         Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
·         Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
§  Paket Kombipak.
§  Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
·         Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
·         KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1        Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2        Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3        Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
I.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis TB  menurut Asril Bahar (2001):
1.      Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru.
2.      Pemeriksaan Laboratorium
·         Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
·         Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
·         Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG dan Myobacteria patogen lainnya.


2.                  KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.    PENGKAJIAN
1.      Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
a)      Identitas klien
b)      Riwayat penyakit sekarang
c)      Riwayat penyakit dahulu
d)     Riwayat penyakit keluarga
e)      Riwayat psikososial
f)       Pola fungsi kesehatan
1)      Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek.
2)      Pola nutrisi dan metabolic
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun.
3)      Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi
4)      Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas
5)      Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
6)      Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular.
7)      Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
8)      Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya.
9)      Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
10)  Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan.
11)  Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.
2.            Pemeriksaan fisik
a)      Berdasarkan sistem – sistem tubuh
1)      Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
2)      Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
·         inspeksi :  adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
·         Palpasi   : Fremitus suara meningkat.
·         Perkusi      : Suara ketok redup.
·         Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring.
3)      Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
4)      Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang mengeras.
5)      Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
6)      Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.
7)      Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 456
8)      Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau sekret darah, Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.
2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang kental, Edema bronchial.
3.      Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan, Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
4.      Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: Kelelahan, Batuk yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia, Penurunan kemampuan finansial.
5.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan: Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif.

C.    INTERVENSI KEPERAWATAN
No Dx
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1

1.      Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
2.      Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis
3.      Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.
4.      Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
5.      Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
6.      Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
7.      Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
8.      Bantu inkubasi darurat bila perlu.
-          Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
-          Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
-          Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan
-          Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
-          Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan
-          Mencegah pengeringan membran mukosa.
-          Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
-          Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik. dengan edema laring atau perdarahan paru akut.
2

1.      Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan
2.      Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
3.      Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
4.      Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
5.      Monitor GDA
6.      Berikan oksigen sesuai indikasi.
·      Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
·      Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
·      Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
·      Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
·      Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.
·      Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
3

1.      Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
2.      Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan
3.      Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk
4.      Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
5.      Monitor temperatur
6.      Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
7.      Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
8.      Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
9.      Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.
10.  Monitor sputum BTA
-       Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi
-       Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
-       Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
-       Mengurangi risilio penyebaran infeksi
-       Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi
-       Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk
-       Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan
-       INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama
-       Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
-       Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.
4

1.      Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
2.      Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
3.      Monitor intake dan output secara periodik.
4.      Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi.
5.      Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
6.      Anjurkan bedres
7.      Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
8.      Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
9.      Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
10.  Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan
11.  Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
12.  Berikan antipiretik tepat.
·         berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
·         Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan
·         Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
·         Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
·         Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster
·         Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
·         Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.
·         Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
·         demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.
5

1.      Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
2.      Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
3.      Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
4.      Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
5.      jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
6.      jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah
7.      Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
8.      Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
9.      Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan menyangkal.
10.  Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
11.  Anjurkan untuk berhenti merokok.
·         Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien
·         Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
·         Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
·         Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
·         Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
·         Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
·         Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme koping
·         Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
·         Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan pernapasan/ bronchitis.














DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, (2000). Buku saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa. Edisi 8. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI : Jakarta.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar