BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Prevalensi gangguan kesehatan jiwa di
Indonesia adalah 18,5 % ,yang berarti dari 1000 penduduk terdapat 185 penduduk
dengan gangguan kesehatan jiwa. Jika hasil studi ini dijadikan dasar, maka
tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi peningkatan angka gangguan kesehatan
jiwa atau gangguan emosional yang semula berkisar antara 20-60 per 1000
penduduk seperti yang tercantum pada sistem kesehatan nasional.
Khusus untuk anak dan remaja, masalah kesehatan jiwa perlu menjadi
fokus utama tiap upaya peningkatan sumber daya manusia, mengingat anak dan
remaja merupakan generasi yang perlu disiapkan sebagai kekuatan bangsa Indonesia.
jika ditinjau dari proporsi,
40% dari total populasi penduduk
Indonesia yang terdiri dari anak dan remaja berusia
0-16 tahun , ternyata 7-14% dari jumlah
tersebut
mengalami gangguan kesehatan jiwa , termasuk antara lain anak dengan tuna
grahita, gangguan perilaku, kesulitan belajar, dan hiperaktif.
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara
masa kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun. Masa
remaja terdiri dari masa remaja awal ( 10-14 tahun ), masa remaja penengahan (
14-17 tahun ) dan masa remaja akhir ( 17-19 tahun ).
Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan baik
biologis, psikologis maupun social. Tetapi umumnya proses pematangan fisik
terjadi lebih cepat dari proses pematangan kejiwaan (psikolososial). Seorang
remaja tidak lagi dapat disebut sebagai anak kecil, tetapi belum juga dianggap
sebagai orang dewasa, disatu sisi ia ingin bebas dan mandiri, lepas dari
pengaruh orang tua, di sisi lain pada dasarnya ia tetap membutuhkan bantuan
dukungan orang tuanya. Orang tua tidak mengetahui atau memahami perubahan yang
terjadi sehingga tidak menyadari bahwa anak mereka telah tumbuh menjadi seorang
remaja. Orang tua menjadi bingung menghadapi labilitas emosi dan perilaku
remaja, sehingga tidak jarang terjadi konflik diantara keduanya.
Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
akan cenderung meningkat sejalan dengan permasalahan kehidupan dan kemasyarakatan
yang semakin kompleks.
Oleh karena itu memerlukan pelayanan
kesehatan jiwa yang memadai sehingga memungkinkan anak dan remaja untuk
medapatkan kesempatan tumbuh kembang semaksimal mungkin.
Keperawatan termasuk bagian integral dari
sistem kesehatan Indonesia turut menentukan penanggulangan masalah kesehatan anak dan remaja. Perawat merupakan kelompok mayoritas
tenaga kesehatan dan mempunyai kesempatan 24 jam untuk menjaga dan melayani pasien
atau kliennya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana permasalahan kesehatan jiwa anak dan remaja di
Indonesia ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan jiwa pada anak dan remaja ?
C. Tujuan
Tujuan umum : Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang kesehatan jiwa
remaja sehingga dapat menciptakan lingkuangan yang kondusif untuk perkembangan
anak.
Tujuan khusus :
1.
Memberikan
pembekalan kepada tenaga kesehatan untuk dapat menyampaikan informasi kepada
masyarakat mengenai kesehatan jiwa remaja.
2. Meningkatkan
peran serta mahasiswa dalam menangani remaja bermasalah dan upaya
pencegahannya.
3. Meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa remaja.
D. Manfaat
1.
Bagi Pembaca
·
Memberikan gambaran umum
kepada mahasiswa keperawatan mengenai konsep asuhan keperawatan jiwa pada anak dan remaja.
2.
Bagi Penulis
·
Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara
sistematis.
3.
Bagi Pengajar
·
Sebagai referensi dan wujud nyata dari
evaluasi atau materi yang diberikan.
E. Metode Penyusunan
Dalam penyusunan studi kasus ini, penulis menggambarkan metode deskriptif
(mula-mula data/fakta dikumpulkan, dianalisa, kemudian disimpulkan).
Adapun teknik pengumpulan datanya dengan Studi kepustakaan, yaitu
mempelajari dan menganalisa bahan bacaan dari berbagai referensi sesuai dengan
masalah yang dibahas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
SUDUT
PANDANG GANGGUAN JIWA PADA ANAK DAN REMAJA
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan, remaja adalah usia
yang rentan, konsep dirinya belum matang, masih terlalu mudah meniru perilaku
dari idolanya, kemampuan analisisnya masih rendah dan kemampuan kontrol emosi juga masih
rendah. Berikut ini sifat umum dari anak dan remaja, di antaranya
:
a. Spontanitas
Mereka secara spontan melakukan suatu kegiatan tanpa pertimbangan rasional dan analisa berpikir. Ketika salah seorang teman mereka merokok dan terlihat "Gentleman" di mata mereka maka secara mencuri - curi mereka akhirnya merokok. Petualang, mereka senang sekali bereksplorasi dengan berbagai situasi dan keadaan. Ketika sedang hangat-hangatnya jejaring sosial ‘facebook’ mereka mulai menggunakan ‘facebook. Kini ketika demam ‘twitter’ melanda, maka mereka berganti membuat account ‘twitter’.
Mereka secara spontan melakukan suatu kegiatan tanpa pertimbangan rasional dan analisa berpikir. Ketika salah seorang teman mereka merokok dan terlihat "Gentleman" di mata mereka maka secara mencuri - curi mereka akhirnya merokok. Petualang, mereka senang sekali bereksplorasi dengan berbagai situasi dan keadaan. Ketika sedang hangat-hangatnya jejaring sosial ‘facebook’ mereka mulai menggunakan ‘facebook. Kini ketika demam ‘twitter’ melanda, maka mereka berganti membuat account ‘twitter’.
b. Kebebasan
Mereka menuntut kebebasan dari orangtuanya untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan, jika kebebasan ini terfasilitasi maka mereka akan menjadi generasi kreatif yang mampu mengharumkan nama bangsa.
Mereka menuntut kebebasan dari orangtuanya untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan, jika kebebasan ini terfasilitasi maka mereka akan menjadi generasi kreatif yang mampu mengharumkan nama bangsa.
Tetapi
tentu saja mereka memiliki beberapa kelemahan :
a.
Tawuran. Ketika melihat film – film
berbau kekerasan
maka mereka berkeinginan
menjadi jagoan, kemudian mereka mengumpulkan teman - teman mereka dan akhirnya
menyerang kelompok remaja lain untuk menunjukkan eksistensinya.
b.
Sex
bebas. Kurangnya kontrol orang tua dan
terlalu mudahnya akses ke situs –
situs
porno membuat mereka memiliki keinginan untuk mencoba, percobaan pertama
menjadi pengalaman menyenangkan dan akhirnya kecanduan menjadi sebuah pengalaman yang berulang.
c.
Penyalahgunaan
obat.
Masa remaja adalah masa transisi, mereka membutuhkan
sebuah pembentukan identitas sehingga ketika ada masalah yang menekan
psikologis mereka, kemudian mereka tidak menemukan seseorang yang mau membantu
mereduksi tekanan psikologis mereka akhirnya mereka melarikan diri ke obat -
obatan terlarang, minuman keras bahkan narkotika.
d.
Terlibat
kegiatan kriminal ringan.
Karena mereka masih labil dan masih mudah
dibujuk, maka bujukan untuk melakukan sebuah perbuatan kriminal bisa menjadi
ajang pembuktian siapa mereka, akibatnya mereka harus berurusan dengan aparat
akibat kesalahan mereka tersebut.
B.
ETIOLOGI
GANGGUAN PSIKIATRIK PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA
Tidak ada penyebab tunggal dalam gangguan mental
pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik,
dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi secara kompleks.
1.
Faktor-Faktor
Psikobiologik
a. Riwayat genetika keluarga
Seperti
retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan perilaku, gangguan
bipolar, dan gangguan ansietas.
b. Abnormalitas struktur otak
Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan perubahan
neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme, skizofrenia kanak-kanak,
dan ADHD.
c. Pengaruh
pranatal
Seperti infeksi maternal, kurangnya perawatan
pranatal, dan ibu yang menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan
abnormalitas perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma
kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada janin sangat
signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan perkembangan saraf
lainnya.
d. Penyakit kronis atau kecacatan
Dapat
menyebabkan kesulitan koping bagi anak.
2.
Dinamika keluarga
a. Penganiayaan anak.
Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa
kanak-kanak awal, perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri).
Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai
masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori, kesulitan belajar,
impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan (Glod, 1998).
b. Disfungsi sistem keluarga
Mis. kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya batasan
antar generasi, dan perasaan terjebak disertai dengan keterampilan koping yang
tidak adekuat antar anggota keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua.
3.
Faktor lingkungan
a. Kemiskinan.
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang
terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi
pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
b. Tunawisma.
Anak-anak
tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang memengaruhi perkembangan
emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan
angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah
psikologis di antara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan
sampel kontrol (Townsend, 1999).
c. Budaya
keluarga.
Perilaku
orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar dapat
mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah
psikologik.
C.
JENIS GANGGUAN JIWA ANAK-ANAK DAN REMAJA
1.
Gangguan perkembangan pervasif. Ditandai dengan masalah awal pada tiga area
perkembangan utama : perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental
Muncul sebelum usia 18 tahun dan
dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan
dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis. IQ
di bawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang ketrampilan adaptasi
atau lebih (mis. komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup sehari-hari,
ketrampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan
keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial
dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997).
Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik
diri dan berhubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan
respon yang aneh terhadap lingkungan (mis., tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang
seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukul kepala).
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan
perkembangan
yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca,
aritmatika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.
Defisit perhatian dan gangguan perilaku disrutif :
a. Attention
Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas
yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut DSM IV, ADHD pasti terjadi
di sekitanya dua tempat (mis., di sekolah dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM
IV, 1994).
b. Gangguan
perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disuptif, dan
kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini
mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh
perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi: mencuri, berbohong, menggertak,
melarikan diri, membolos, menyalahgunakan zat, melakukan pembakaan, bentuk
vandalisme yang lain, jahat terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk
gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrem. Perilaku dalam gangguan ini tidak
melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan
perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menujukkan sikap menentang, seperti
berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang rendah erhadap frustasi, dan
menggunakan minuman keras, zat terlarang, atau keduanya.
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau
remaja dan berlanjut ke masa dewasa :
a. Gangguan
obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada
anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang
dewasa.
b.
Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang
ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya.
Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatic, ansietas
berat terhadap
perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang
mengasuhnya.
4. Skizofrenia
a. Skizofrenia
anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-gejalanya dapat meneyerupai gangguan pervasive, seperti autisme. walaupun penelitian
tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit, namun telah dijumpai perilaku
yang khas (Antai-Otong, 1995b), seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku,
menarik diri secara sosial,
komunikasi.
b.
Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidensinya selama masa
remaja akhir sangat tinggi. Gejala-gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa.
Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan
nilai-nilai akademik, dan mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.
5. Gangguan mood
a.
Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dibanding pada orang
dewasa (Kelter, 1999). Prevalensi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1%
sampai 5% untuk gangguan depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak
masih kontroversial. Prevalensi penyakit
bipolar pada remaja diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan
yang diobservasi pada orang dewasa.
b.
Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor yang serius untuk bunuh diri.
Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada individu berusia 15 sampai 24 tahun.
Tanda-tanda bahaya bunuh diri pada remaja meliputi menarik diri secara
tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau
alkohol, secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas
tugas-tugas sekolah menurun, membolos, keletihan berlebihan dan keluhan somatic,
respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang terang-terangan secara verbal, dan
membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah ( Newman, 1999)
6.
Gangguan penyalahgunaan zat
a.
Gangguan ini banyak terjadi ; diperkirakan 32% remaja menderita gangguan
penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang
lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Risiko terbesar mengalami
gangguan ini terjadi pada mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada
remaja, perubahan penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa
membutuhkan waktu antara 15 sampai 20 tahun.
b.
Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainya merupakan hal yang banyak
terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan gangguan perilaku
disruptif.
c.
Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada
remaja, di antaranya adalah penurunan fungsi
sosial dan akademik, perubahan dari fungsi sebelumnya, seperti perilaku menjadi
agresif atau menarik diri dari interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan
toleransi yang rendah terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang
juga menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang penggunaan zat.
D.
PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRIK PADA ANAK- ANAK DAN
REMAJA
a.
Perawatan
Berbasis Komunitas (Managed Care)
1. Pencegahan primer
Melalui
berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang
meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah perawatan pranatal awal, program
intervensi dini bagi orang tua dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam
membesarkan anak, dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan
dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
2. Pencegahan sekunder
Dengan
menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan di sekolah
sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. Metodenya meliputi
konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan rujukan kesehatan jiwa
komunitas, layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi
traumatik, konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman sebaya.
3. Dukungan terapeutik bagi anak-anak
Diberikan
melalui psikoterapi individu, terapi bermain, dan program pendidikan khusus
untuk anak-anak yang tidak mampu berpartisipasi dalam sistem sekolah yang
normal. Metode pengobatan perilaku pada umumnya digunakan untuk membantu anak
dalam mengembangkan metode koping yang lebih adaptif.
4. Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga
Penting untuk membantu
keluarga mendapatkan keterampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat
perubahan yang dapat meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.
b.
Pengobatan
Berbasis Rumah Sakit
1.
Unit khusus
untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa. Pengobatan
di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan
metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi
melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
2.
Program
hospitalisasi parsial juga tersedia, memberikan program sekolah di tempat
(on-site) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak yang menderita
penyakit jiwa.
3.
Seklusi dan
restrain untuk mengendalikan perilaku disruptif masih menjadi kontroversi. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat
bersifat traumatik pada anak-anak dan tidak efektif untuk pembelajaran respon
adaptif. Tindakan yang kurang restriktif meliputi istirahat (time-out),
penahanan terapeutik, menghindari adu kekuatan, dan intervensi dini untuk
mencegah memburuknya perilaku.
c.
Farmakoterapi
Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan.
Medikasi psikotropik digunakan dengan hati-hati pada klien anak-anak dan remaja
karena memiliki efek samping yang beragam.
1.
Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja memengaruhi jumlah dosis,
respon klinis, dan efek samping dari medikasi psikotropik.
2.
Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat memengaruhi
hasil pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang tidak konsisten,
terutama dengan antidepresan trisiklik.
E.
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA ANAK DAN REMAJA
1.
Pengkajian
Merupakan tahap awal
dan dasar utama dari proses keperawatan , kegiatan yang perlu dilakukan oleh
seorang perawat :
·
Mengakaji data dari pasien dan keluarga
tentang tanda-tanda dan gejala serta faktor
penyebab.
·
Memvalidasi
data.
·
Mengelompokkan
data dan menetapkan masalah klien.
Data yang didapat digolongkan menjadi 2 :
·
Data subjektif, data yang disampaikan secara
lisan oleh pasien dan keluarga ,
didapat melalui wawancara oleh perawat terhadap pasien dan keluarga.
·
Data objektif, data yang ditemukan secara nyata, melalui observasi atau
pemeriksan langsung oleh perawat.
Isi Pengkajian :
Identitas pasien , keluhan utama saat MRS , faktor predisposisi , aspek fisik atau biologis ,
aspek psikososial , dan
status mental .
1. Kaji kembali riwayat klien untuk adanya
jhal-hal yang mencetuskan stressor atau data yang signifikan, antara lain
riwayat keluarga, peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres, hasil
pemeriksaan kesehatan jiwa, riwayat masalah fisik dan psikologis serta
pengobatannya.
2.
Catat pola pertumbuhan dan perkembangan anak dan bandingkan dengan alat
standar, seperti The Developmental Screening Test dan versi yang sudah direvisi
(Wong, 1997).
3.
Catat bukti pencapaian tugas perkembangan yang sesuai bagi anak atau
remaja.
4.
Lakukan pemeriksaan fisik pada anak atau remaja, catat data normal atau
abnormal.
5.
Kaji respon perilaku yang dapat mengindikasikan gangguan pada anak-anak
atau remaja. Pastikan untuk mengkaji interaksi langsung, observasi permainan,
dan interaksi dengan keluarga dan teman sebaya.
6.
Identifikasi bukti gangguan kognitif.
7. Observasi adanya bukti-bukti gangguan
mood.
8. Kaji kelebihan dan kelemahan sistem
keluarga.
2.
Diagnosa Keperawatan
Analisa
dan data yang ditemukan (objektif dan subjektif) :
Tetapkan
rumusan diagnosa dalam bentuk
rumusan diagnosis tunggal. Rumusannya : rumusan “Problem” etiologi tidak perlu
dicantumkan tetapi cukup dimengerti dan dipahami. Dengan cara :
1. Analisis
2. Tetapkan diagnosis keperawatan bagi klien
dan keluarga
3.
Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana
tindakan keperawatan terdiri dari : tujuan umum, tujuan khusus, kriteria evaluasi dan rencana
tindakan keperawatan.
Tujuan umum : hasil tindakan berupa
kemampuan akhir yang
hendak dicapai (jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai)
Tujuan khusus : tujuan jangka pendek
sampai dengan tujuan jangka panjang tercapai. Rumusan tujuan khusus berupa
pernyataan kemampuan pasien mengatasi masalah.
Tindakan keperawatan dirumuskan dalam bentuk kalimat perintah.
Untuk menetapkan tujuan umum dan
khusus, perawat perlu memiliki kemampuan berfikir :
1. Bekerjasama dengan klien dan keluarga
dalam menetapkan tujuan yang realistis
2. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan
untuk klien, keluarga, atau keduanya.
4.
Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan
Sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini
(here and now), menilai diri sendiri ( kemampuan interpersonal, intelektual dan
teknikal untuk melaksanakan tindakan, menilai kembali apakah tindakan aman bagi
klien ).
Implementasi umum :
a. Bentuk rasa saling percaya.
b. Dengarkan secara aktif, tunjukkan
perhatian dan dukungan.
c. Tingkatkan komunikasi yang jelas, jujur,
dan langsung.
d. Tempatkan diri sebagai pihak yang netral,
jangan memihak orang tua atau anak.
e. Dukung kelebihan klien dan keluarga.
f. Gunakan model kognitif untuk menjelaskan
hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku.
g. Berpartisipasi dalam rencana pengobatan
di unit rawat inap.
h. Perkuat secara positif perilaku yang
dapat diterima.
i. Berpartisipasi dalam terapi bermain,
biarkan anak mengekspresikan dirinya melalui permainan imajinatif.
j. Bekerjasama dengan keluarga klien,
sekolah, dan tim kesehatan jiwa.
k. Anjurkan digunakannya kelompok pendukung
masyarakat bagi klien dan keluarga
l.
Anjurkan pada keluarga tentang cara menjaga kesehatan emosi anak melalui
penyuluhan klien dan keluarga.
Rencana dan
Tindakan keperawatan yang dilakukan orangtua, apabila menemukan gangguan jiwa
pada anak dan remaja dengan contoh kasus seperti dibawah ini :
1.
Untuk anak atau
remaja dengan gangguan perkembangan pervasive :
a. Menciptakan
lingkungan yang aman, dan bantu orangtua untuk melakukannya juga di rumah.
b. Membantu
orangtua mengurangi perasaan bersalah dan menyalahkan atas apa yang mereka
alami.
c. Mempertahankan
konsistensi pengasuh anak di rumah sakit, sekolah, dan rumah.
d. Membantu
orangtua dan saudara kandung anak dalam mengidentifikasi dan mendiskusikan
perasaannya, berbagai hal dan masalah yang berkaitan dengan tinggal bersama
anak yang menderita gangguan serius.
e. Mengalihkan
perhatian anak bila ansietasnya meningkat dan perilakunya memburuk.
f. Memberikan
benda-benda yang dikenal anak.
2.
Untuk anak atau
remaja dengan ADHD :
a.
Berikan
medikasi stimulan di pagi hari guna memaksimalkan efektivitasnya untuk kegiatan
di siang hari.
b.
Bantu keluarga
menggunakan manipulasi lingkungan untuk mengurangi stimulus guna mengendalikan
perilaku.
c.
Bantu keluarga
menyusun jadwal yang tetap untuk makan, tidur, bermain, dan mengerjakan tugas
sekolah.
d.
Bekerjasama
dengan sekolah, keluarga, dan tim kesehatan jiwa untuk memastikan penempatan
ruang kelas yang sesuai.
3.
Untuk anak atau
remaja dengan gangguan perilaku atau gangguan penyimpangan oposisi :
a.
Buat
batasan-batasan yang tegas, jelas, dan konsisten tentang konsekuensi atas
perilaku yang tidak dapat diterima.
b.
Bantu orang tua
menentukan dan mempertahankan batasan yang telah ditetapkan.
c.
Berikan umpan
balik positif atas perilaku yang baik.
d.
Dorong klien
mengekspresikan kemarahannya dengan sikap verbal yang tepat
e.
Gunakan latihan
fisik dan aktivitas untuk membantu anak menyalurkan kelebihan energi yang
muncul karena peningkatan ansietas atau kemarahan.
f.
Catat
tanda-tanda perburukan perilaku dan dan lakukan intervensi segera.
4.
Untuk anak atau
remaja dengan gangguan ansietas :
a. Pertahankan sikap tenang bila klien dan orangtua mengalami
peningkatan
ansietas.
b. Ajarkan pada klien tindakan koping untuk mengatasi ansietas.
c. Gunakan strategi kognitif dalam mendiskusikan tentang
ketakutan-ketakutan
yang dirasakan klien, dengan mengemukakan realitas yang ada.
e.
Bantu klien
segera kembali ke sekolah dengan dukungan dari keluarga, bila terjadi ansietas
akibat perpisahan.
5.
Untuk anak atau
remaja dengan gangguan mood :
a.
Ajarkan pada
klien dan keluarganya tentang gangguan mood, penyebab,
gejala, dan
pengobatannya.
b. Fokuskan pada tindakan meningkatkan harga
diri.
c. Gunakan tindakan kognitif dalam mengatasi
perasaan dan pikiran negative.
d. Pertahankan sikap yang penuh harapan.
e. Gunakan tindakan kewaspadaan terhadap bunuh
diri bagi klien yang berisiko
melakukannya.
6.
Untuk anak atau
remaja dengan gangguan penyalahgunaan zat :
a.
Ajarkan pada
klien dan keluarganya tentang zat-zat tersebut dan dampaknya
terhadap kesejahteraan fisik dan
psikologis.
b.
Anjurkan klien
dan keluarganya untuk menghadiri kelompok swadaya,
misalkan alcoholic anonymous.
c.
Perkuat sikap
penuh harapan bahwa klien dapat mencapai dan
mempertahankan
keadaan bersih tanpa penyalahgunaan.
d. Ajarkan tindakan koping untuk mengatasi perasaan dan situasi yang
tidak
Nyaman.
5.
Evaluasi
tindakan keperawatan
Merupakan proses berkelanjutan dan dilakukan
terus menerus untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dibagi dua jenis :
a. Evaluasi
proses (formatif), dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi hasil (Sumatif),
dilakukan dengan
membandingkan respon klien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai
pola pikir.
S : Respon subjektif klien terhadao
tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : Analisa terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih ada atau telah teratasi/ muncul masalah baru.
P : Perencanaan tindak lanjut
berdasarkan hasil analisa respon klien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa
:
a. Rencana diteruskan jika masalah tidak
berubah.
b. Rencana dimodifikasi jika
masalah tetap ada dan semua rencana tindakan sudah dilakukan tetapi hasil belum
memuaskan.
c. Rencana dan diagnosa keperawatan dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang
ada.
d. Rencana atau diagnosa selesai
jika tujuan sudah
tercapai dan yang
diperlukan adalah memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru.
Perawat menggunakan kriteria hasil berikut ini
untuk menentukan efektivitas intervensi keperawatan yang dilakukan:
A.
Klien dan keluarganya menunjukkan perbaikan keterampilan koping.
B.
Klien mengendalikan perilaku impulsifnya.
C.
Klien menunjukkan stabilitas mood yang normal.
D.
Klien berpartisipasi dalam program penyuluhan sesuai kemampuan.
E. Klien
dan keluarganya berpartisipasi dalam program pengobatan dan menerima rujukan
komunitas.
F.
Klien berinteraksi secara sosial dengan kelompok teman sebaya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan
suatu kondisi yang ditandai dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau
kompulsif, dimana membutuhkan banyak waktu (lebih dari satu jam perhari) dan
dapat menyebabkan penderitaan (distress). Untuk menegakkan diagnosis pasti,
gejala-gejala obsesif atau tindakan komplusif, atau kedua-duanya, harus ada
hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut.
Ada beberapa terapi yang bisa
dilakukan untuk penatalaksanaan gangguan obsesif-kompulsif antara lain terapi
farmakologi (farmakoterapi) dan terapi tingkah laku. Prognosis pasien
dinyatakan beik apabila kehidupan sosial dan pekerjaan baik, adanya stressor
dan gejala yang bersifat periodik.
B.
Saran
Diharapkan mahasiswa mampu melakukan
asuhan keperawatan jiwa sebagai bekal ketika praktek belajar lapangan jiwa (PBL
Jiwa) di rumah sakit jiwa, dan mampu melakukannya secara komperhensif dan
sesuai teori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar