BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
∆
LATAR BELAKANG
Pembunuhan bisa dilakukan secara legal.
Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih menjadi kontroversi.
Bukan hanya dinegara-negara Barat, tapi juga telah merambah ke wilayah Timur,
bahkan juga di Indonesia. Pembunuhan yang dilegalkan ini pun ada bermacam-macam
jenisnya.
Secara umum, kematian adalah sebuah hal yang sangat ditakuti oleh publik umum.
Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks
kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara
tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat
dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia ialah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938. Banyak data menyebutkan telah terjadi euthanasia di berbagai Negara. Apakah euthanasia itu juga merupakan hal yang legal dalam Islam?
Euthanasia ialah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938. Banyak data menyebutkan telah terjadi euthanasia di berbagai Negara. Apakah euthanasia itu juga merupakan hal yang legal dalam Islam?
∆
RUMUSAN MASALAH
1)
Apakah
euthanasia itu?
2)
Ada
berapa macam euthanasia itu?
3)
Bagaimana
praktik euthanasia diberbagai Negara didunia?
4)
Bagaimnana
pendapat pro dan kontra terhadap euthanasia?
5)
Bagaimana
hukum euthanasia menurut pandangan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1) Pengertian Dan Sejarah Euthanasia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik
pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara
memberikan suntikan yang mematikan.Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan.Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah
"eutanasia" ini pada "sumpah
Hippokrates"
yang ditulis pada masa 400-300 SM.Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk
itu".
2)
Macam-Macam Euthanasia
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya,
eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif,
eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
§ Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia
aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat
atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun
melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
§ Eutanasia non agresif, kadang juga disebut
eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia
negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan
sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara
resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis
tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia
pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
§ Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan
sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia
pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan
dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh
tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang
tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah
sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya
meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif
medis.
Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka
eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
§ Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu
tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap
hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
§ Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia
semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap
sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila
seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial
sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi
si pasien.
§ Eutanasia secara sukarela : dilakukan
atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal
kontroversial.
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya
eutanasia antara lain yaitu :
§ Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing)
§ Eutanasia hewan
§ Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini
adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela.
3) Praktik
Euthanasia Diberbagai Negara
Praktik-praktik eutanasia pernah yang
dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat.
§ Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk
melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
§ Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak
laki-laki tertuanya.
§ Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia
dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
§ Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
§ Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia
dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh
adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
§ Satu-satunya negara yang dapat melakukan
tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik medis,
biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin ada
praktik-praktik medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
§ Negara bagian Australia, Northern
Territory,
menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh
diri berbantuan,namun saat ini sudah dihapus oleh senat Australia
§ Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia
pada akhir September 2002. Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi
eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
§ Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan
memintanya sendiri
1)Ada
2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai
"eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)
2)Kasus
yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai
"eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
§ Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang
secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para
pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada
§ DiKorea Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur
tentang eutanasia, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus
rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. pada
kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment)
termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal
meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.
§ Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
"program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang
menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang
menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap
anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia
∞Beberapa
Kasus Euthanasia
§ Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
§ Terri Schiavo (usia
41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi
izin mencabut pipa makanan (feeding
tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini
masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat
Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam
keadaan gagal jantung. Setelah
ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia
mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut
kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam
tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus
membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan
kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.Setelah Terri Schiavo selama 8
tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan
ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar
istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu
Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa
makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas
perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa
pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan
upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika
Serikat agar
membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut.
Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan
Perwakilan Amerika Serikat dan
ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush.
Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya
ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.
§ Kasus "Doctor Death"
§
Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti
dilaporkan Lori A. Roscoe . Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven
Glendale , California diduga
puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri
hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi
"menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa
yang dilakukannya adalah pembunuhan.
§ Kasus rumah sakit Boramae - Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita
berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga
bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah
mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002,
anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya
beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang
bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk
tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum
meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah
mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak
dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.
§ Kasus BBC
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis
atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu
klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC.
Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley berusia 71
tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel
ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat
mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia
tidak terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan
obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir
Terry Pratchett, pembawa acara Terry
Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum racun.
Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya
Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah
tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media
cetak membuat BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis
pengaduannya pada Dirjen Mark
Thompson dan Kepala BBC Lord
Patten mengenai acara itu.
Warga menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik dan agama
bergabung menyatakan acara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan,
tertulis, "Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus
punya alasan kuat". Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay
of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of
Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna
mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900
warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru bicara BBC
menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom
sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat 'banyak'
pengaduan.
4)Pendapat
Pro dan Kontra Terhadap Euthanasia
Pro Euthanasia
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk
juga beberapa orang cacat, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan
bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk
euthanasia adalah otonomi individu.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Kontra Euthanasia
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacat untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi.
Orang cacat sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
5)Pandangan Islam Terhadap Euthanasia
Dalam Pandangan Islam Secara Global
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
Dan
Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian
menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat
mengingkari ni`mat.(QS.Al-Hajj
:066)
Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka,
sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman
kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka.
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia
tidak bersyukur.(QS.
Al-Baqarah: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan
dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang
secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut,
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut,
وَأَنفِقُواْ
فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." (QS Al-Baqarah: 195),
dan dalam ayat lain disebutkan,
"Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS An-Nissa’: 29), yang makna
langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . Dalam Pandangan Syariah Islam Secara Detail
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga . Dalam Pandangan Syariah Islam Secara Detail
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia.
1.Euthanasia
Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya sendiri.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
(QS Al-An’aam:151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min
membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…”
(QS An-Nisaa` : 92)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Karena itu, apapun alasannya
(termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut
jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau
oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2.Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180)
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidahushul:Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,1953).Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Jawabannya adalah boleh jika memang tidak tersembuhkan lagi menurut kedokteran.
3.Dasar
Kebolehan
Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam mazhab.Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).
4.PerbedaanPendapat
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.
Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Wallahu a’lam.
BAB III
PENUTUP
∆ KESIMPULAN
Euthanasia
merupakan suatu hal yang menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal ini karena
menyangkut terhadap hak hidup atau nyawa seseorang. Meskipun dalam kode etik
kedokteran euthanasia itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang fatal,
namun kode etik tidak bisa menjamin akan tidak terlaksananya sebuah tindakan
euthanasia. Apalagi dibeberapa Negara telah melegalkan euthanasia dengan
syarat-syarat yang telah di tentukan.
Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan hal ini. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau posiif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Wallahu a’lam.
Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan hal ini. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau posiif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Wallahu a’lam.
∆ SARAN
Yang telah merasa melakukan tindakan
euthanasia sebaiknya memohon maaf kepada Allah SWT,agar dosa-dosanya
diampuni.Jangan membiarkan orang yang mengidap penyakit / stress karena
kehidupannya untuk mati.Ingatkan orang-orang ynag menginginkan kematian
sekalipun karena sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang
berputus asa dalam hidupnya.
PENUTUP
Kami
berharap makalah ini dapat diterima dan mendapat penilaian yang baik untuk
melengkapi tugas mata kuliah Agama.
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Hasan,
M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
2. Utomo,
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta:
Gema Insani Press
3. Zallum,
Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam: Kloning,
Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan,
Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
4. Anwar,
Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books
Syahrur, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
Syahrur, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar